Bentang Semesta


Han…, memang bukan sesuatu yang baru
Jalan panjang yang ditempuh setiap manusia
Dalam mencari jati diri di tengah dunia dan masyarakatnya
Melelahkan dan membosankan
Namun lebih membosankan tuk menjangkarkan diri pada akar tunggang
Lalu tumbuh menjadi pohon…


Kalau bicara waktu, diri ini seolah cuma serangga mikroskoptik yang coba memanjat helai demi helai bulu kelinci demi seberkas temaram bulan berlapis mendung…  Uhh, bukan pekerjaan gampang. Serba berkelindan dengan misteri besar yang membungkus tiap jiwa manusia.
Dewa mana yang sanggup taklukkan Betara Kala, si empunya waktu, atau bakal tunggang langgangkah tentara Napoleon di Waterloo sekiranya senapan Kalashnikov dalam genggaman? Atau terbayangkah betapa terkejutnya manusia-manusia nomaden melihat bertebarannya makanan cepat saji ala Amrik? Dalam hati mereka bergumam, kapak dan batupun tak ada guna mengais tanah demi seonggok makan siang!
“How life is so full of coincidence”…
Mungkin kita hanya dapat mamandang waktu dari perspektif keabadian, yang melihat diri kita hanyalah bayangan belaka dari deret panjang barisan “keabadian”. Setiap manusia tak bisa memilih saat dan rentang waktu yang dibutuhkan dalam penyelesaian kehidupannya.
Apalah perbedaan kita dengan dengan manusia purba jika hanya melihat persoalan mereka hidup di masanya dengan kita di masa sekarang? Bukankah itu suatu “kebetulan sejarah” seandainya kita hidup di abad pertengahan dimana nilai kemanusiaan menjadi sebutir mutiara di dasar samudra? Atau dengan siapa kita mengadu sesal hidup masa sekarang yang tak lepas dari cengkeraman hantu yang bernama kapital?

Semua berawal dari sini…


*

“Satu kata memulai seruan doa, satu langkah memulai perjalanan ke Roma, setangkai bunga membentuk taman nan  indah, sebatang pohon menjelma menjadi hutan teduh pelindung jiwa, sebuah laku kecil mengawali peristiwa luar biasa”…

Siang masih tersisa barang seperempat babak ketika penat mulai menggelayuti bagian belakang badan ini. Kuperlukan diri bersandar pada tepian kaca hampir melewati  sekat yang memisahkan tokoku dengan toko sebelah yang belum tersewa. Belum habis kepulan asap Marlboro membubung di wajahku sepintas terlihat kelebatan merah dipadu biru tua yang menarik tepi mataku tuk coba menangkap setiap gerak bayangan tersebut. Ah, tak dapat mata ini menolak permunculan yang seperti menjumpai hujan di tengah mendung. Seolah-olah tak terduga padahal telah kuperkirakan. Sosok semampai dengan seraut wajah berbinar terang berjalan ringan beberapa kaki di seberang diriku.
Dasar Philogynik! Dalam hitungan detik segara kurapatkan barisan kekerdilan dan keciutan diri, kusimpulkan tali temali kejantanan dan nyali kelaki-lakianku, sambil kukerahkan seluruh armada keberanian diri.
Tak sempat menyusun gramatika dan tetek bengek aturan berbahasa, dengan nekatnya kulontarkan sapaan bernuansa klasik “Hai, siapa namanya?”, sambil kupecahkan bongkahan es yang membekukan wajahku, kupersembahkan senyumku yang terindah tuk hari ini.
Ah.., sepertinya senyumku mendarat mulus di tepi landasan hatinya.
Buktinya senyum balasan yang tak kalah indah menerpa diri ini. Dalam hati tak jadi soal tak dapat jawab atas pertanyaan serampanganku. Ibarat membidik kepala, tak apalah tak menitik mata,  telingapun sudah cukup mengena.
Tak sampai hati mata ini melewatkan ayunan langkah demi langkah sosok semampai di hadapanku.  Seperti  merunut lembar demi lembar halaman Tolstoy, berasik masyuk dalam ketertegunan sesaat.
“Inilah saatnya tuk mengenal dia..”, pikirku cepat.
Kalau untuk urusan seperti ini kadang prosesor di kepalaku bekerja melebihi ambang batas standar yang dibakukan dalam bahasa spesifikasi. Timbul ide, lebih tepatnya alasan teknis yang kukira dapat menjembatani masuk di hati.
Kuhitung persesuaian waktu berdasar pergerakan ia berjalan, menghela nafas barang sebentar lalu berdiam di pos pekerjaannya. Hitung punya hitung segera kuraih telepon di meja klerekku. Dengan sigap kutekan nomor sambungan yang kukira benar adalah nomor tokonya. Degup jantung ini semakin cepat menyertai nada sambung yang seolah tak ada akhirnya. Terdengar sahutan empuk disana, lalu kuminta untuk dipanggilkan si semampai yang kutebak bernama Anita…
Kalau bicara investigasi, sidik selidik, intip mengintip, diri ini teringat pada seorang kawan seperjuangan di padepokan sekolah jurnalistikku. Ia lebih suka dipanggil cukup satu suku kata di nama depannya, seperti nama penulis besar patronku, Pram.
Mencari tau sebetulnya bukan hanya persoalan kejelasan jawaban atas ketidaktauan kita, tapi juga bagaimana dan seperti apa perolehan jawaban itu didapat. Investigasi itu seni tersendiri, ucapnya suatu ketika.
“Mba, apa benar situ yang mengambil dan membawa prosesor?”, itu kuanggap mekanisme teknis pencapaian dalam pencarian informasi. Seni investigasi kupikir.
Tapi kadang hamparan indah teoritis tak “secantik” lapangan becek di lapangan. Bukan kejelasan jawaban atas ketidaktauan diri, malahan sanggahan pedas beraroma kesinisan bercampur keheranan. “Kalau gak penting gak usah tanya yang macam-macam”… Braakkk!
Sejenak melompong isi kepalaku, lalu susul menyusul tanda tanya berhamburan di benakku. Ada yang keliru dengan pertanyaanku, atau iakah yang tak berbahasa Indonesia dengan benar, atau mungkin tak perlu kuterka dirinya padahal setengah hati tau kalau ia adalah yang kukira?
Masih ada mentari esok, pikirku coba menghibur diri sambil kututup sambungan telepon dengan masih menyisakan kejengkelan atas teori Pram!


*

”Biarlah kubakar sekiranya surga itu ada, atau akan kutelan sekiranya neraka itu tersisa”….

Hampir tiap akan meninggalkan rumah menuju tempat bekerja, diri ini menyempatkan tuk menuju peraduan ibu sekedar memberi sebuah kecupan pada dahi lembutnya sebagai ucapan selamat tinggal atau lebih tepatnya semacam pamit atas keberangkatanku. Seperti juga hari ini, selesai memisahkan beberapa lembar pecahan seribuan di saku kemeja kelabuku, tak terlewatkan ritual harian itu. Ya, bagiku ritual tersebut bukan sekedar azas kepatuhan seorang anak terhadap orangtua, melainkan juga semacam terapi sugestional atas setiap langkah yang kuambil seharian.
Setelah yakin tak terlewatkan suatu apapun, kubergegas menuju tempatku bekerja. Seperti biasa armada Transjakarta menjadi pilihan keberangkatanku. Bus dengan besar yang sepertiga lebih besar dari kopaja atau metromini itu, seolah telah menjadi kendaraan favoritku.
Uh favorit! Dimana-mana kalau beras tak punya umbi-umbianpun terasa nikmat. Terang menjadi idola kaum komuter seibu kota, mereka tak punya alternatif berkendaraan yang lebih manusiawi!
Stasiun Kota tujuan akhir bus besarku tersebut. Kusambung dengan mikrolet barang lima sampai sepuluh menit perjalanan. Gedung Mangga Dua pemberhentian separuh hari-hariku.
Tawar menawar, bujuk membujuk,  propaganda ringan menjadi sarapan pagi sekaligus makan siangku. Kadang negosiasi taktis menjadi suplemen kebugaranku. Semua dalam koridor etika liberalisme berdasar mantra dengan modal sekecil-kecilnya meraup untung sebesar-besarnya. Logika seorang saudagar negeri sebrang.
“Disinilah sawahmu, ladang pengharapanmu, kerahkan bajak terbaikmu, kerbau terkuatmu, buahkanlah hasil sekuat tenagamu”, begitu kolegaku mengkuliahiku suatu waktu.
Kerja “keras”ku ditutup dengan ritual hitung punya hitung berapa kantong pundi-pundi upeti buat penguasa modal, sekaligus berapa tebal lembaran pahlawan tanah Bali, I Gusti Ngurah Rai, masuk ke kocek pribadi. Aku menyukai I gusti Ngurah Rai, namun diri ini lebih “cinta” Sukarno-Hatta, pikirku dalam beberapa kesempatan.
Tak ada garis kerut di dahi, atau cakar ayam sekitaran tepi mata ini, cuma sesekali sungging bibirku tak dapat menahan gelombang kegirangan hati sepanjang perjalanan menuju rumah. Gurau riang kolega seperjuanganku menemani menit demi menit dalam kereta listrik yang kadang tak menyisakan ruang seujung kukupun tuk bernafas. Ibarat mesin komputer, kereta tersebut berotak Celeron dengan hard disk drive dua ratusan giga yang terisi penuh data masiv, terseok-seok bukan hal yang aneh, gurauku suatu kali. Jauh berbeda dengan kereta Maglev rute Paris visa versa London.
Belum habis gelegar keriangan diri, telah menanti kebahagiaan yang tersedia khusus untukku. Rumah mungilku dengan seisi bingkisan-bingkisan pelipur lelah dan lara diri ini. Tatap lembut nan tulus istri terbaikku, tawa riang anak tercintaku, permata sekaligus matahariku, sambutan hangat ibu bapakku yang tak lelah memberkatiku.
Ah, lengkap sudah keseharianku…


**

Aku dilahirkan sebagai Jawa dengan bakat-bakat lahiriahnya sebagai penerus sisi biologis kedua orangtuaku. Menjadi Jawa telah menjadi kurikulum masa kecilku. Penghormatan akan ketulusan dan keagungan laku hidup telah tertanam dalam proses pendewasaanku. Setiap langkahku seolah pertanda kematangan jiwa sekaligus cerminan telah di titik mana diri ini berada. Menjadi Jawa adalah warisan keniscayaan yang seolah tak dapat kutolak. Meski demikian, Eropalah yang menjadi guruku. Anak kandungnyalah yang memahat bangunan peradabanku. Ilmu pengetahuan yang menjadi penyibak di setiap selubung kerinduanku akan makna diri dan hidup ini. Dari situlah setiap rumusan dan konsep jati diri terbentuk melalui dua sungai kebudayaan yang bermuara pada satu samudera, identitas pribadiku.
 Keragaman dalam setiap sendi kehidupan bukan suatu hal yang asing bagiku. Perbedaan telah menjadi sebuah keindahan tersendiri untukku. Relativitas sebuah nilai kebenaran menjadi nafas yang menghidupi keluargaku. Setiap arogansi kebenaran terbantahkan lewat ketulusan dan keikhlasan mencintai satu sama lain. Semua tunduk terhadap bahasa kasih dan sayang. Mengasihi tanpa pretensi, menyayangi tanpa syarat dan tanpa keberpura-puraan. 
Masih segar dalam ingatan di masa kecilku akan penantian teristimewa ibuku sepulangku bersanjang di rumah Allah. Menunggu di gerbang masjid dengan tatapan yang tak kan pernah terlupakan, perlahan menghampiriku, lalu ia menuntun dalam pergelangan kecilku, meraih setiap langkahku mengikuti lindungan kepak payung kasihnya. Dalam lebat tumpahan air dari langit, dimana ketakberdayaan dan kekerdilan seorang anak yang tak tau apa yang harus dilakukan, sosok ibuku kuanggap sebagai kepanjangan tanganNya. Tak ada jurang perselisihan keyakinan prinsipil antara seorang ibu dan anak. Tak ada otorisasi kebenaran berdasar cara pandang satu sama lain. Semuanya terjembatani oleh suatu rasa yang tak tertolakkan sudut tersempit nurani manusia, yaitu cinta.
Atau betapa bahagianya diri ini jika ibukulah yang menggugah tidur lelapku sekedar mengingatkan akan panggilan surau di kampungku. Dengan sigapnya dikemaskan olehnya keperluan ibadah pagiku, lalu mengantarku bergegas memenuhi panggilan nan mulia tersebut. Itulah yang kuanggap peristiwa “beragama”…  
Demikian juga istriku, ia seorang Protestan yang baik. Berpandangan yang lurus, berlaku yang senafas dengan isi hatinya. Setiap ucapannya hanya tersusun atas bahasa kasih. Segala perbuatannya terpendar dari rasa sayang terhadap diri ini. Tak ada luka yang tak tersembuhkan lewat cinta kasihnya, tak ada gundah tak terdamaikan dalam pelukannya.
Pernah suatu waktu diri ini terombang ambing dalam lautan kepongahan dan kepicikan pencarian jati diri. Ialah yang melabuhkan bahtera kekerdilanku dalam kehangatan dan kedamaian cinta. Membasahi setiap inci gurun dahagaku akan pembuktian diri. Ia yang menemaniku melewati tapal batas idealisme kekanak-kanakanku menuju gerbang realitas hidup ini.
 Ia yang kupilih tuk menemaniku memasuki alam kenyatan hidup ini.
Kami menikah dengan cara dan menurut hukum keyakinannya. Tak jadi soal untukku. Meski sebagian orang berpandangan miring atas tindakanku. Bukankah semestinya pihak perempuan yang mengikuti cara dan hukum keyakinan seorang laki-laki, demikian tuntutan sosial yang dihadapkan terhadap diriku.
Uh.., justru karena aku merasa sebagai lelaki, maka secara jantan kuakui kualitas religiusnya lebih bernilai, dibandingkan diriku yang masih berpikir bebas, freijdenker. Kuberjalan menurut keabsahan keyakinan atas penilaian yang diterima akal sehatku. Menurutku kadang kejernihan pandang masyarakat memudar tertelan sinisme sosial.
Setiap perbuatan baik maupun buruk selalu diposisikan berhadapan. Manusia dihadapkan pada sebuah pilihan antara kebaikan tuntas atau kejahatan mutlak. Surga dan neraka menjadi iming-iming dan ancaman nyata dalam setiap langkah manusia. Pertimbangan antara perbuatan baik dan buruk tak lagi bersumber atas nama kebajikan dan kebenaran hakiki seperti semestinya.
Pernah suatu waktu Rabiah Al Adawiyah dengan obor di tangan ketika melalui kerumunan banyak orang di pasar ditanya, “untuk kau gunakan apa obor di terik mentari seperti ini?”.
“Akan kubakar surga dan neraka supaya tak pernah ada, agar kalian berbuat kebajikan bukan lantaran kedua makhluk tersebut…”, tandasnya.  
Kebajikan adalah bersumber dari dalam diri manusia sang pemegang kuasa atas nurani yang merdeka. Demikian esensi etika moral seorang Immanuel Kant.
Ah, sekiranya dapat kuberjumpa, akan kuberikan sekarangan penuh bunga terindah untuk mereka!

Tak menuruti ketentuan sosial, kehidupan pernikahan kami berjalan baik. Hari demi hari terisi dengan kebahagiaan yang sederhana. Bukankah kebahagiaan adalah kesenangan yang berlangsung detik demi detik tanpa nurani berjingkrak-jingkrak menggugat?
Kesempurnaan kebahagiaan kami ditandai dengan lahirnya buah kasih hati yakni seorang bayi lelaki yang kunamai Wibowo Bentang Widya. Apalah arti sebuah nama, kata seorang sastrawan besar Inggris. Bagikupun nama tak berpretensi sebagai pengiklanan diri maupun pencitraan pribadi. Itu lebih kuanggap sebagai motivator ketika  sang anak telah berfikir kelak. Lelaki tangguh yang kan menjadi suluh dan lentera dalam kegelapan dan kebimbangan masyarakatnya.
Matahariku telah terbit. Semua berkah dan kebahagiaan di bumi seolah tercurah untukku.
Ya Gusti Allah, sekiranya diri ini Kau panggil ke singgasanaMu, dengan seluruh keikhlasan di muka bumi, diri ini berserah menuruti kehendakMu! Telah kunikmati surgaMu, kudapati semua kebahagiaan sekalian alam semesta…


*

“Aku berfikir, karena itu aku ada…”

Seingatku terakhir kami sekeluarga, aku, bapak ibuku dan saudara-saudara kandungku menonton pentas wayang orang adalah ketika umurku beranjak di kisaran belasan tahun. Selesai tamat pendidikan dasar persisnya. Mengisi malam libur di akhir pekan dengan menonton pertunjukan wayang orang telah menjadi rutinitas di keluarga kami. Walau dialog yang disajikan dalam Jawa tak kutangkap secara literal, namun urut-urutan, pembabakan, sampai dengan karakterisasinya telah kuhapal lewat bacaan yang biasa didongengkan ibuku maupun yang kubaca sendiri.
Namun semakin usiaku bertambah seiring pembobotan kanuragan volume otakku, lambat laun dunia pewayangan tak lagi menarik minatku. Penghormatan diri ini lebih memilih merunut hikayat-hikayat besar di bagian bumi ini yang kuanggap sebagai pergulatan umat manusia merintis jalan dan memahat bangunan peradabannya. Ya, sejarah manusia tentu lebih menarik ketimbang dongeng indah dewa-dewi di alam swargaloka.
Lihatlah di salah satu belahan bumi manusia, cucuran keringat dan air mata, simbahan darah segar dan bau menyengat bangkai manusianya, semuanya berlaku demi upaya penyebutan diri sebagai bangsa yang beradab. Gunung-gunung cadas akan dikikis, gurun-gurun tandus coba diairi, serta alam-alam liar tak risau disambangi demi berdirinya sebuah lokus kehidupan dalam sejarah peradaban. Belum lagi lentera-lentera suram di abad kegelapan yang mencoba mewariskan seberkas sinarnya yang nantinya menjadi cahaya terang benderang penyuluh seluruh jagat raya, ilmu pengetahuan, cikal bakalnyapun tak luput dari bagian pergulatan di bumi manusia.
Semuanya lebih menarik ketimbang roman tragik Betara Syiwa, atau epos kepahlawanan para Pandawa di medan Kurusetra, atau pula kedigdayaan tiada taranya Sang Wisnu dengan Cakra di genggammannya, yang seolah menentukan nasib seluruh bangsa di jagat raya. Uh, isinya melulu hanya pergulatan kaum dewa, raja dan pangeran tampan serta putri cantik jelitanya, serendahnyapun paling-paling urusan  para ksatria. Tak ada lika-liku kehidupan rakyat jelata, pergulatan hamba sahaya dalam penentuan garis hidupnya, heroisme manusia biasa…
Persis seperti tayangan sinetron televisi di alam “modern” ini, yang kuanggap sebagai penghinaan akal sehat dan nalar intelegensia manusia yang berfikir, dan juga sebagai bentuk terkasar pemerkosaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan!!!

Ketersambunganku dengan sosok Anita akhirnya berjalan sehalus polesan mentega di setangkup roti sarapan pagiku. Hari demi hari terlewati seakan tak ada kata lain selain ketersesuaian melodrama di lubuk hati terdalam satu sama lain. Kedekatanku dengannnya dimulai dari kebersamaan melewati waktu keseharian yang terasa seolah tak bergeming pada sebuah pola keteraturan.
Pulang bersama, santap malam berdua menjadi sebuah ekstase pengganti kepenatan keseharian kami.  Disambung dengan ritual rekreatif seperti menonton sinema bersama, berlenggang menenggak fantasi hidup di taman hiburan yang menyisakan banyak keriangan tuk kami berdua. Semuanya berlangsung dalam ketertarikanku akan singkap jendela rutinitasku.
 Awalnya memang kuakui kedekatanku dengannya sekadar semacam kebutuhan akan pencitraan diri, atau bahkan lebih tepatnya sebagai pencerminan diri terhadap kelangsungan keberhasilan rekan kolegaku akan kisah romantik kesehariannya.  Semacam pembuktian diri dalam khazanah teoritis Maslovian. Sebuah self esteem dalam kerangka teoritis kebutuhan hidup seorang manusia. Seolah alat pengukur sejauh mana diri ini terterima secara individual sebagai makhluk romantik.
Namun dalam beberapa kesempatan keluarbiasaan bentuk hubunganku perlahan mulai menunjukkan keistimewaaan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Hari demi hari kucerna setiap ketakterdugaaanku akan sebuah keindahan hubungan kami.
Ketulusan yang tak kalah dari istri terbaikku membuka anganku akan kerelaan hidup tuk berbagi dengan yang tak tersambangi. Menyadarkannku teramat luasnya ruang kasih di muka bumi yang tercipta bukan hanya untukku seorang. Tak terhitung betapa banyak manusia lain yang berhak mengecap mukzizat Ilahiah yaitu kasih sayang. Diri ini serasa sebagai makhluk terakus, binatang terbuas yang tak menyisakan secuilpun kelezatan santapan nikmatnya.
Ia yang membuka jendela pengertianku akan sebentuk lain dari yang namanya cinta. Cinta yang belum teraba dalam indera kasarku yang tertutup egoisme absolut. Cinta platonik, cinta yang transformatif, cinta yang tak mengenal batas-batas hubungan interpersonal, yang tak melihat subjektivitas sebuah tindakan karitatif. Kasih sayang yang universal, yang tak terbelenggu kepentingan dan kebutuhan resiprokal. Cinta yang menyatukan setiap manusia dalam bahasa kemanusiaan.
Kesederhanaan ucap dan tindakannya mengingatkanku akan kekayaan hidup yang sudah semestinya kugali sebagai bagian tujuan hidupku. Impian-impian indahnya akan tepian hidup ini seakan menyentakkan lelap tidurku sepanjang malam. Megingatkanku akan sebuah harapan pada dimensi kemewahan bagi manusia yang berfikir. Corgito ergo sum, aku berfikir karena itu aku ada. Berfikir akan pencapaian harapan hidup seorang manusia, yaitu penyelesaain kemanusiaan itu sendiri.
Ia pula yang menyentakkanku pada gairah kerinduanku akan sisi terang jawaban atas pertanyaan akan hidup ini. Keterbuaian dalam kebahagiaan telah mengkaratkan keingintahuan serta menumpulkan pisau rasionalitasku. Seperti tak ada daya tuk menciptakan sebuah pilihan dunia baru. Semuanya seolah berjalan sebagaimana mestinya. Sampai akhirnya lewat pertanyaan-pertanyaan sederhana seorang gadis bersahaja seolah mewakili seluruh misteri besar yang pernah kuimpikan tuk menyingkapnya.
Ialah yang membangkitkan kegelisahanku yang selama ini terlelap dalam gua hibernasinya. Semua rasa, impian, dan harapan akan sesuatu yang lain dari kesementaraan hidup ini mulai menjalari setiap mimpi malamku. Taman-taman indah Babilonia yang biasa tergantung dalam bingkai impianku, mulai berganti kubangan lumpur luar biasa besar di timur Jawa sana yang seakan tak menyisakan remah-remah harapan bagi manusianya.
Perlahan namun pasti kurasakan impuls, gerak hati ini tuk mengintip lewat kisi-kisi jendela surgaku pada hamparan luas dunia yang dulu ku pernah menjadi bagiannya. Dunia yang nyata yang dulu pernah ku tak sanggup menatapnya.
 Ialah yang membukakan gerbang panorama bumi manusia dengan setiap permasalahannya!


*
“Der plcht van een men ist en men te zijn…”

O Tempora! O Mores! . Itulah warisan Cicero bagi siapapun yang ingin menjeritkan kegalauan yang sedang ia alami. Seruan itu tak lagi bergema di gedung senat Romawi, tetapi serasa membahana di seantero pedalaman nuraniku.
Diri ini bak mengikuti hukum entropi dalam azas Thermodinamika. Semuanya tampak makin semrawut, kacau balau, berantakan. Hukum alam itu sepertinya telah meramalkan arah khaotik bagi semua hal yang menimpaku.
Akan tetapi alam jugalah yang memberi contoh keanggunan dalam perjalanan hidup ini. Lihatlah alam semesta itu sendiri… Bukankah ia lahir dari khaos yang tak terperi… Meski di balik fenomena ekstrem yang ada, namun yang tampak adalah kemegahan mayestik, antara Matahari nan panas, Bulan yang bercahaya sejuk, dan Bintang-bintang yang berkilauan dalam orbitnya yang teratur. Warga alam raya lazimnya dapat hidup satu sama lain. Proses dan pergulatan khaotik alam yang menjadikan keindahan tersendiri pada kesemestaannya.

Semakin jauh dan dalam rasa yang tertanam pada sosok Anita, semakin lebur diri ini pada penyatuan insani sebagai pasangan hidup dengan Istriku, semakin dahsyat pula pergulatan pedalamanku akan pencarian jati diri yang sesungguhnya. Istriku, anakku, keluargaku dan sosok Anitaku menjadi pelakon-pelakon dalam drama besar kesemestaan hidupku. Dalam tiap-tiap peranannya menyuguhkan fenomena-fenomena unik yang menyeimbangkan putaran orbit pejalanan hidupku.
Sekali layar terkembang, surut kita berpantang, kata peribahasa lama. Selesaikan apa yang sudah kamu mulai, ujar Vito Corleone.
Kadang naluri kebinatangan berupa egoisme absurd terlintas di benakku sebagai sintesa keadaan. Penyelesaian sepihak yang ditawarkan dorongan tersebut meracuni kejernihanku memetik sebernas buah pikir di alam khaotik yang kujalani.
Namun perlahan bernas buah pikir mulai merekah dan kebulatan hati telah terkumpulkan. Tak ada kekuatan yang sanggup menahan seorang manusia yang telah mengetahui tujuan hidupnya, kata Pramoedya Ananta Toer.
Diri ini merasa inilah saat titik balik kesadaranku akan eksistensi hidup yang selama ini terlelap dalam buaian indah alam surgawi. Lebih tepatnya sebagai sebuah lompatan sejarah individu seorang manusia dalam proses pemanusiaannya. Seperti halnya sejarah peradaban yang melalui beberapa fase penyempurnaannya, manusia sebagai makhluk yang berproses sudah tentu memiliki patok-patok pencapaian dalam hidupnya. Inilah salah satu fase terpenting yang merupakan syarat keberlangsungan hidupku.
Babakan sejarah yang terbuka melalui pendekatan sebuah anak emas peradaban itu sendiri, yaitu cinta. Cinta melankolik, cinta yang mensyaratkan ketersambungan rasa dan subjek material para pementasnya. Dalam hal ini Istriku dan Anitaku yang memainkan peran sentral.
Selintas tersimpulkan bahwa keniscayaan sebuah cinta adalah kepemilikan silang semata yang tak terganggu gugat oleh perkara di luar subjek maupun objek yang bersangkutan. Tak ada koeksistensi damai diantara elemen-elemen pembentuk kehidupan lain yang isinya tak melulu soal sambung rasa, kait-mengait hati, persesuaian selera insting inderawi dan naluri alamiah manusia.
Cinta Kapitalistik, kukira.
Namun dalam rentang waktu yang terbilang tak lama, keterasahanku akan sesuatu yang lebih luhur ketimbang cinta dalam artian yang definitif, mulai kurasakan. Yaitu rasa dan kebulatan hati tuk menyerahkan hidup pada sebuah keniscayaan hidup sebagai manusia. Menjadi manusialah yang menjadi gairahku, libido intelektual dan gerak hatiku. Banyak syarat yang belum kukerjakan dalam kesementaraan hidup ini. Memikirkannyapun belum lagi mulai kukerjakan, apalagi yang namanya sebuah tindakan.
 Tak ada lagi kelesuan dan ketakutan dalam memandang hidup ini. Segala perisai yang melindungiku dari sengat tajam kehidupan mulai kulepas. Kubulatkan tekad tuk melihat hidup ini sebagai bagian dari pembelajaranku.
Kubangkitkan kembali heroisme kemanusiaan yang terlelap dalam mimpi panjangnya. Kan kubangun kota angan-anganku di lereng Vesivius. Kan kubawa bahtera impianku ke lautan yang belum terpetakan. Meski kutak tau seberapa deras gelombang yang bakal menyambutku, seberapa buas makhluk yang kan menelanku.
Inilah masaku, disinilah kupancang bendera kebangkitan diriku sebagai manusia yang menyadari kemanusiaannya.
Kubulatkan hati tuk kehilangan surga dan kehilangan diri Anitaku, tak ada jalan lain. Dalam arti diri ini tak lagi ter”cintai” seindah dulu, tak ter”sayangi” semanis masa laluku, dan tak ter”kasihi” selembut yang lalu dari Istriku, juga Anitaku.
Aku telah memilih jalan yang tak dapat diri ini berbalik. Jalan yang melapangkan setiap hati, jalan yang menyembuhkan berbagai luka, sekaligus jalan yang mencerahkan bersama.
Tak kuragukan perasaan “cinta” diri ini pada mereka. Karena itulah biarlah diri ini “mencintai” dengan cara, sudut pandang yang kukira terbaik untuk mereka.
Biarlah mereka menjadi Matahari panas yang menghangatkan sepanjang hariku, Bulan sejuk yang menerangi malam-malamku, serta Bintang-bintang gemerlap yang mengisi lukisan besar langit kehidupanku. Semuanya bergerak dalam keharmonisan semesta kemanusiaan.
Bukankah alam yang memberiku jawaban indah atas kehiruk pikukan, keriuhan pergulatan diri sebagai bagian kesemestaannya? Alam pulalah yang meminangku memenuhi panggilannya tuk menyelesaikan tugasku sebagai seorang manusia, yaitu menjadi manusia…




******************




Awalnya kukira cinta itu hanyalah cerminan ketakutan manusia akan kesendiriannya..
Ah, ternyata cinta itu terlalu indah dalam hidup kita yang singkat..
Sekiranya tak ada lagi cinta di dunia, biarlah “cinta”ku tersisa dalam ketiadaannya…

Postingan Populer